Di sebagian negara maju, pembagian bagian penduduk yang memeluk keyakinan agama semakin berkurang. Mereka lebih memercayai temuan-temuan dari sains dan teknologi sebagai pemberi pedoman kehidupan mereka sehari-hari. Agama semakin tersingkir perannya dalam memandu dan mengarahkan penduduk sesuai bersama nilai-nilai yang dimilikinya.

Apakah penduduk di negara-negara Muslim akan mengalami hal yang sama? Ini tentu sebuah pertanyaan yang harus direnungkan dalam-dalam. Sejauh ini belum keluar tren seperti itu. Bahkan di Indonesia terdapat kecenderungannya peningkatan ghirah berislam di kalangan kelas menengah dan terdidik. Agama dan pengetahuan pengetahuan sama-sama punyai porsi perlu dalam kehidupan sehari-hari Muslim Indonesia.
Hubungan agama dan pengetahuan pengetahuan tak tetap sejalan sejalan. Terdapat sebagian type hubungan pada agama dan pengetahuan pengetahuan. Pertama, agama dan pengetahuan pengetahuan saling mendukung. Sejumlah ayat Al-Qur’an secara sadar menyebutkan sebuah fenomena pengetahuan pengetahuan keliru satunya sistem penciptaan manusia yang dilukiskan jauh sebelum saat pengetahuan pengetahuan dapat menjelaskannya secara empiris. Tetapi di segi lain, terdapat perbedaan pendapat berkenaan manusia pertama di bumi ini mengenai bersama turunnya Nabi Adam dan teori evolusi yang dikembangkan oleh Darwin.
Di Eropa, hubungan agama dan pengetahuan sempat mengalami masa-masa suram disaat agama memaksakan kebenarannya. Ilmuwan yang menemukan pengetahuan baru yang berlainan bersama tafsir para pemuka agama mengalami penindasan. Akhirnya hal ini membangkitkan gerakan perlawanan berupa sekularisme yang memisahkan agama bersama kehidupan publik. Eropa menjadi maju bersama terbebaskannya para ilmuwan mengembangkan pengetahuannya.
Agama sifatnya transendental tetapi pengetahuan pengetahuan berupa empiris rasional yang dapat diuji kebenarannya. Ayat-ayat Al-Qur’an berupa tetap, tapi tafsirnya dalam mengalami kontekstualisasi tetapi kebenaran pengetahuan pengetahuan berupa relative. Sebuah teori tetap dianggap benar jika belum ada teori baru yang menyatakan teori lama itu salah. Dalam beragama kita beriman berkenaan keberadaan tuhan tanpa mempertanyakan bukti-bukti empiris dikarenakan pancaindra manusia tidak dapat menjangkau hal-hal yang sifatnya adikodrati. Akal manusia sangat terbatas untuk sadar kompeksitas jagad raya ini. Tapi bagi grup agnostic atau atheis, maka kebenaran ditunjukkan oleh fakta empiris dan rasionalitas. Kelompok ini menguasai pertumbuhan dan pergantian dunia.
Agama dihadapkan pada tantangan berkenaan kapabilitas manusia “menciptakan” hal-hal baru yang dulu hanya dapat dijalankan oleh Tuhan. Kloning sejumlah binatang sudah berhasil dilakukan. Dan dalam sebagian tahun ke depan, hasilnya akan semakin sempurna. Beberapa ilmuwan kemungkinan tetap lihat penciptaan manusia sebagai wilayah tak tersentuh, tapi sebagian orang punyai kecenderungan untuk melanggar hukum. Mungkin untuk obyek popularitas personal atau bagian dari kompetisi sebuah perusahaan atau negara. Dan jika ada satu yang berhasil menciptakan manusia super yang menjadikannya unggul, maka pihak lainnya akan berlomba-lomba mengarahkan sumberdayanya untuk laksanakan riset guna menggapai keunggulan. Adakah batas bagi ilmuwan untuk menciptakan sesuatu yang dinilainya bukan lagi ranah manusia? Ini pertanyaan sulit.
Perlombaan untuk menggapai inovasi paling baru merupakan usaha menggapai keunggulan baik bagi individu, korporasi, atau bahkan negara. Korporasi didirikan untuk menggapai obyek pencarian laba. Hal ini memicu para eksekutifnya harus laksanakan beragam inovasi, yang tentu saja belum tentu sesuai bersama norma-norma agama atau masyarakat. Para pemimpin negara dipilih oleh rakyatnya untuk memperjuangkan keperluan nasional. Agama dapat saja menjadi panduan dalam menentukan obyek negara, tapi dapat saja obyek selanjutnya diarahkan pada hal-hal yang sifatnya sangat materialistik. Ketika obyek besarnya materialistik, maka nilai-nilai agama bukan menjadi norma.
Terdapat sebagian pendekatan yang dijalankan di negara-negara Muslim. Pertama, pendekatan sekularisme bersama mengacu kepada kesuksesan Barat. Tapi usaha selanjutnya ternyata tidak berhasil. Turki dapat menjadi satu contoh. Beberapa yang mencoba menggunakan resep yang serupa gagal dikarenakan ada pertentangan yang kuat dikarenakan ada grup yang menampik pemisahan agama dari ruang publik ini.
Selain pendekatan sekularisasi yang ditawarkan, grup lain menawarkan alternatif bersama mencoba lagi mencontoh perilaku para salafushalih, yakni generasi pertama pemeluk Islam yang terbukti dapat mempunyai Islam dalam kejayaannya. Mereka mengusahakan laksanakan beragam teladan perilaku Rasulullah dan para sahabatnya berasarkan riwayat hadits atau atsar. Tapi bisakan perilaku seperti itu dapat mengalahkan pertumbuhan pengetahuan dan teknologi? Tampaknya pendekatan seperti itu terhitung kurang tepat. Tampaknya harus pendekatan berlainan bersama mencoba memberi porsi spesifik sebagai ruang keagamaan dan porsi lain dalam ranah pengetahuan pengetahuan.
Sebagai umat Islam, kita meyakini agama punyai keabadian dan akan memandu masyarakat, tapi keyakinan saja tidak cukup. Bahwa dunia tetap beralih yang memicu para ahli agama harus tetap dapat laksanakan tafsir lagi yang kontekstual sesuai bersama zamannya. Pengalaman masa kegelapan disaat agama memaksakan kebenarannya sudah memicu kerugian bagi semua pihak. Kayakinan bumi datar, misalnya, bersama menggunakan pendekatan agama yang sempat ramai baru-baru ini padahal sains sudah menyatakan bahwa bumi bulat menjadikan banyak orang mengernyitkan dahi.
Al-Qur’an memberi panduan dalam beragam faktor kehidupan, tapi tidak dalam tataran yang sangat teknis. Dan hal itu sangat tepat dikarenakan mengakses ruang tafsir yang konteksual sesuai bersama zaman yang ada. Kehidupan yang kita jalani saat ini ini bersama segala kemudahan teknologinya tak terbayangkan pada masa sebagian abad sebelumnya. Mungkin saja sebagian abad yang akan datang, kehidupan sudah sedemikian jauh bersama imajinasi kita saat ini. Pertanyaannya, sejauh mana agama dapat memandu masyarakat? Ini tentu bergantung pada kapabilitas para tokoh agama yang dapat menyatakan bahwa agama memberi pencerahan sebagaimana disaat pertama kali muncul. Inilah yang harus kita renungkan pada momen baru Hijriah 1441 ini.